BATAM (BP) - Aksi mengelilingi Indonesia tidak harus dalam kondisi sehat fisik. Poniman (62) asal Klaten, Jawa Tengah, tidak mau kalah. Walau secara fisik kakinya tidak bisa lagi berfungsi penuh, dia tetap menjalankan niatnya mengelilingi dunia, bermodalkan sepasang tongkat.
"Sebenarnya saya mulai keliling dunia dengan menggunakan sepeda tahun 1999 lalu, tetapi 24 Juli 2003 saya mengalami kecelakaan di Bawean, Jawa Timur," kenangnya.
Akibat kecelakaan itu, syaraf di kakinya tidak lagi berfungsi. Selama 1,2 tahun setelah kecelakaan, dia sempat mengalami kelumpuhan. Untuk -maaf- buang air kecil pun, dia harus menggunakan selang. Pada tahun ke dua, setelah mengalami peningkatan kesehatan, dia melanjutkan misinya untuk mengelilingi dunia.
Karena tak bisa lagi mengayuh sepeda, dia menggunakan sepasang tongkat sebagai penyangga dan menjalankan aksi mengelilingi dunia dengan berjalan kaki. Saat itu, dia mengaku masih tetap menggunakan selang untuk buang air kecil.
Poniman mengatakan, misinya mengelilingi dunia memang tidak bisa dibendung.
"Itu diawali pada 1999 lalu saat Indonesia dibilang mengalami krisis. Saya yakin saat itu Indonesia tidak sedang krisis, untuk membuktikannya saya berniat untuk mengelilingi Indonesia," katanya.
Niat itu lalu dimulainya dengan menuju Indonesia bagian Timur. Menurutnya, pada tahun itu, setelah melihat sendiri kondisi di beberapa kota/kabupaten, dia tidak menemukan ada warga di Indonesia Timur yang kelaparan.
Pria yang memiliki enam orang anak ini mengatakan pula, setelah mengelilingi Indonesia, niatnya lalu bertambah untuk bisa mengelilingi dunia. Tahun 2007 niatnya kesampaian dengan menginjakkan kaki di Beijing, China. Dari sana dia lalu bertolak ke negara lainnya seperti Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Dia menunjukkan bukti berupa sertifikat dari kedutaan/konsulat RI di tiap negara yang disinggahi.
Setelah Asia, dia juga akan menjalankan aksinya mengelilingi dunia dengan berjalan kaki, ke benua lain. Targetnya bisa mengakhiri perjalanannya di Zimbabwe.
Selama dalam perjalanan dia mengaku banyak mendapatkan pengalaman. Ada yang enak dan tidak sedikit pula pengalaman yang tidak menyenangkan.
Di Batam, pengalaman tidak mengenakkan dialaminya saat mencoba untuk bertemu dengan Sekda Kota Batam, Selasa (1/12) lalu. Seperti kebiasannya, tiap kali singgah di satu kota atau satu negara, dia selalu meminta tulisan dari pemerintah setempat di bukunya.
Nah, saat itu rencananya juga sama. Tapi kali ini rencananya tidak semulus seperti di kota-kota lainnya. Di sini, dia tak berhasil menemui Sekda Kota Batam. Anehnya, saat itu dia malah disodori cek dan diminta tanda tangan, tetapi angkanya tidak ditulis. Lebih aneh lagi, cek tersebut diambil lagi oleh staf Sekda yang seorang wanita, dan Poniman diberi uang sebesar Rp500 ribu.
Poniman yang tiba di Batam sejak akhir November lalu itu mengaku pengalaman tersebut membuatnya tidak nyaman. Alasannya, tujuannya menemui pejabat pemerintah bukan untuk meminta uang, melainkan untuk mengisi bukunya, sebagai bukti bahwa dia memang pernah menginjakkan kaki di Batam.
Kepada Batam Pos, Jumat (4/12) dia membuktikannya dengan memberikan sebuah buku yang di dalamnya sudah penuh dengan komentar dari wali kota, bupati, aparat polisi dan instansi lainnya dari berbagai kota yang disinggahinya.
"Untuk membiayai perjalanan saya, memang ada beberapa yang memberikan sumbangan, tetapi jumlahnya tidak banyak. Saya lebih sering keluar dana sendiri untuk membiayai perjalanan saya," katanya.
Di Batam, dia juga menggunakan dananya sendiri untuk membiyai penginapan dan makan selama seminggu. Perjalanan tersebut menurutnya bukan untuk mengumpulkan dana, sebaliknya dia berniat untuk memberikan bantuan kepada warga Indonesia yang pernah menjadi korban penjajahan. Tiap tiba di satu kota, dia selalu mencari informasi di mana ada warga yang hidup di zaman penjajahan, untuk dibantu, bila warga tersebut mengalami kekurangan secara ekonomi.
Dari penampilan dan gaya Poniman, orang-orang mungkin memandang remeh padanya. Tetapi ada satu rahasia yang disampaikannya pada wartawan koran ini, yang membuat cukup tercengang, mengenai sumber pendanaannya.
Hari ini rencanya dia akan meneruskan perjalanannya ke Medan, menambah deretan kota yang akan dikunjunginya di Indonesia, sebelum bertolak ke negara lain, tetap dengan sepasang tongkatnya. (hsl)
sumber : http://batampos.co.id/Terbaru/Terbaru/Poniman%2C_Modal_Tongkat_Kelilingi_Dunia.html
Seorang anak bertanya pada ayahnya. ”Mengapa Ayah tidak naik pesawat terbang saja ke Makkah? Ini akan lebih mudah.” Sang ayah terdiam sejenak. ”Air laut baru akan kehilangan rasa pahitnya setelah ia menguap ke langit,” jawabnya.
”Apa?”
”Ya, begitulah air laut menemui kemurniannya. Ia harus mengangkasa melewati awan. Inilah mengapa lebih baik naik haji berjalan kaki ketimbang naik kuda. Lebih baik naik kuda ketimbang naik mobil. Lebih baik naik mobil ketimbang naik perahu. Lebih baik naik perahu ketimbang naik pesawat terbang…”
Percakapan ini terbetik pada sebuah trotoar di Bulgaria ketika keduanya terpaksa berlindung dari empasan badai salju. Mobil mereka mogok. Usai melintas sepertiga benua Eropa di atas roda empat, tanya Reda (Nicolas Cazale) pun akhirnya pecah. ”Mengapa tak naik pesawat terbang saja ke Makkah?”
Sebuah pertanyaan masuk akal. Alih-alih terusik oleh tajamnya pertanyaan Reda, sang ayah justru menjawabnya puitis. Sebuah jawaban yang tentu saja tak mudah dicerna oleh rasio awam yang matematis. Jawaban yang agaknya lebih bisa dicerna oleh hati yang khusuk.
Tafsirnya adalah semakin sulit perjalanan menuju Makkah, menurut sang ayah, maka semakin kita memurnikan jiwa kita –seperti halnya perjalanan air laut yang mengangkasa. Hanya dengan cara itulah, ia menemukan kemurniannya kembali. Inilah pesan metaforis Le Grand Voyage (2004), tetapi bukan satu-satunya pesan bernuansa spiritual yang disodorkan peraih Film Terbaik Venice Film Festival ini.
Sang ayah, diperankan secara apik oleh aktor kawakan Mohamed Majd, adalah imigran Maroko. Telah menetap 30 tahun di Prancis, laki-laki berwajah Afrika utara itu masih memegang kukuh budaya Arab dan Islam. Sementara Reda adalah generasi kedua imigran yang sudah kebarat-baratan, ia bahkan tak pernah shalat dan memacari seorang gadis Prancis nonmuslim. Namun, dalam bingkai budaya Arab yang kental, sang ayah tetaplah figur dominan.
Maka, titah sang ayah bagai sambaran geledek di siang bolong. Kala itu Reda akan menggondol gelar sarjana dan tengah di mabuk cinta. Tetapi, ia diminta menyupiri ayahnya naik haji ke Makkah, menyusuri rute sejauh lima ribu kilometer dari Prancis selatan di atas mobil minivan Peugeot yang bobrok. Jadilah Le Grand Voyage, sebuah film perjalanan (road-movie) dan, seperti kebanyakan road movie, ia bergerak linear.
Melintaslah mereka ke Italia, Slovenia, Kroasia, Serbia, dan Bulgaria. Menyeberang ke Turki, Suriah, Yordania, hingga Arab Saudi. Pertikaian kecil meletup sepanjang jalan. Dan, tahulah kita, betapa asingnya dunia ayah dan anak ini. Kita pun diperlihatkan, betapa uniknya peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat perbedaan isi kepala dan kegagalan berkomunikasi.
Suatu waktu, sang ayah sekonyong-konyong menarik rem tangan hingga kendaraan yang mereka tumpangi nyaris terguling. Ini semata-mata lantaran Reda menolak meminggirkan mobilnya di jalan tol. Di Suriah, pertengkaran memuncak. Reda pergi meninggalkan ayahnya sendirian di gurun pasir setelah sang ayah memberikan duitnya pada seorang janda tua. Padahal duit mereka nyaris ludes usai ditipu orang Turki bernama Mustafa (Jacky Nercessian).
Uniknya mereka terus bersatu. Lewat film ini kita disodori sebuah hubungan kasih sayang ayah-anak yang ganjil namun terasa alami. Bagai ada tangan tak terlihat yang terus merekatkan keduanya. Ada pula paradok-paradok yang membikin film ini sebuah teka-teki. Yang kentara adalah sang ayah digambarkan sebagai sosok kepala batu dan Muslim yang taat. Namun, tak disangka, ia adalah seorang moderat yang sungkan memaksa Reda ikut shalat bersamanya.
Dan penonton pun bertanya-tanya. Seperti apa kira-kira akhir perjalanan dua manusia dengan kesenjangan budaya dan isi kepala itu? Sutradara Ismael Ferroukhi menyuguhkan sebuah sintesis yang memikat. Seperti air laut yang menguap, sang ayah menemui kemurniannya kembali di Baitullah. Ia wafat di situ.
Maka, pada titik ini, Feeroukhi berhasil mengiris-iris hati penonton. Reda diperlihatkan menangis sejadi-jadinya di depan jasad sang ayah yang terbujur kaku. Betapa menyakitkan. Bukankah Reda baru saja mengenal dan menemukan ayahnya lewat perjalanan jauh ini, tapi sekaligus mesti kehilangannya dalam satu pukulan?
Le Grand Voyage adalah film yang membuat penontonnya pulang dengan hati ‘berdarah-darah’. Sebagai film yang sukses mengaduk emosi dan menggelitik saraf spiritual, Le Grand Voyage terhitung unik. Film ini amat sederhana, jika tidak miskin penggarapan teknis. Penonton kerap dihadapkan pada banyak ruang kosong. Dialog ayah dan anak ini amat irit. Namun, bukankah kejeniusan kerap kali tampak pada kesederhanaan?
Pemain: Nicolas Cazale, Mohamed Majd
Sutradara: Ismael Ferroukhi
Produksi: Ognon Pictures
Sumber : www.republika.co.id